Ajaran Islam Murni (AIM) Sesuai Al-Quran dan Hadits, berisi artikel yang sudah kami baca dan terjamin keabsahan sumbernya.

Monday, 1 August 2011

Yang Membatalkan Puasa

Ada sejumlah persoalan yg sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antara memang ada yg menjadi permasalahan yg diperselisihkan di antara para ulama namun ada pula hanya sekedar anggapan yg berlebih-lebihan dan tdk dibangun di atas dalil.
Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yg oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguh tdk demikian. Keterangan-keterangan yg dibawakan nanti sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yg berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.
Di antara faidah yg bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1. Bahwa orang yg melakukan pembatal-pembatal puasa dlm keadaan lupa dipaksa dan tdk tahu dari sisi hukum mk tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yg tdk tahu dari sisi waktu seperti orang yg menjalankan sahur setelah terbit fajar dlm keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t
setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa namun tdk merusak kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukum ingat dan bermaksud melakukan .” Kemudian beliau t
membawakan beberapa dalil di antara hadits yg menjelaskan bahwa Allah k
telah mengabulkan doa yg tersebut dlm firman-Nya:

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah .”
.
Begitu pula ayat ke-106 di dlm surat An-Nahl yg menjelaskan tdk berlaku hukum kekafiran terhadap orang yg melakukan kekafiran krn dipaksa. mk hal ini tentu lbh berlaku pada permasalahan yg berhubungan dgn pembatal-pembatal puasa.

Dan yg dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin t
adl apabila orang tersebut benar-benar tdk tahu dan bukan orang yg tdk mau tahu wallahu a’lam. Sehingga orang yg merasa diri teledor atau lalai krn tdk mau berta tentu yg lbh selamat bagi adl mengganti puasa atau ditambah dgn membayar kaffarah bagi yg terkena kewajiban tersebut.
2. Orang yg muntah bukan krn keinginan tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dlm hadits:

مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Barang siapa yg muntah krn tdk disengaja mk tdk ada kewajiban bagi dia utk mengganti puasanya. Dan barang siapa yg muntah dgn sengaja mk wajib bagi utk mengganti puasanya.”
Oleh krn itu orang yg merasa mual ketika dia menjalankan puasa sebaik tdk berusaha memuntahkan apa yg ada dlm perut dgn sengaja krn hal ini akan membatalkan puasanya. Dan jangan pula dia menahan muntah krn inipun akan berakibat negatif bagi dirinya. mk biarkan muntahan itu keluar dgn sendiri krn hal tersebut tdk membatalkan puasa.
3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz t
:
“Tidak mengapa utk menelan ludah dan saya tdk melihat ada perselisihan ulama dlm hal ini krn hal ini tdk mungkin utk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak mk wajib utk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tdk boleh bagi orang yg berpuasa utk menelan krn hal itu memungkinkan utk dilakukan dan tdk sama dgn ludah.”
4. Keluar darah bukan krn keinginan seperti luka atau krn keinginan namun dlm jumlah yg sedikit tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin t
dalam beberapa fatwanya:
a. “Keluar darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darah tdk ditelan”.
b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yg berpuasa yaitu pengambilan darah utk diperiksa jenis golongan darah dan dilakukan krn keinginan mk tdk apa-apa”.
c. “Pengambilan darah dlm jumlah yg banyak apabila berakibat dgn akibat yg sama dgn melakukan berbekam seperti menyebabkan lemah badan dan membutuhkan zat makanan mk hukum sama dgn berbekam ” .
Maka orang yg keluar darah akibat luka di gigi baik krn dicabut atau krn terluka gigi tidaklah batal puasanya. Namun dia tdk boleh menelan darah yg keluar itu dgn sengaja. Begitu pula orang yg dikeluarkan sedikit darah utk diperiksa golongan darah tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yg dikeluarkan dlm jumlah yg banyak sehingga membuat badan lemah mk hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yg berbekam .
Meskipun terjadi perbedaan pendapat yg cukup kuat dlm masalah ini namun yg menenangkan tentu adl keluar dari perbedaan pendapat. mk bagi orang yg ingin melakukan donor darah sebaik dilakukan di malam hari krn pada umum darah yg dikeluarkan jumlah besar. Kecuali dlm keadaan yg sangat dibutuhkan mk dia boleh melakukan di siang hari dan yg lbh hati-hati adl agar dia mengganti puasa di luar bulan Ramadhan.
5. Pengobatan yg dilakukan melalui suntik tidaklah membatalkan puasa krn obat suntik tdk tergolong makanan atau minuman. Berbeda hal dgn infus mk hal itu membatalkan puasa krn dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung ataukah bukan. Namun wallahu a’lam yg benar adl bahwa kedua bukanlah saluran yg akan mengalirkan obat ke kerongkongan. mk obat yg diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yg merasakan masuk obat ke kerongkongan tdk mengapa bagi utk mengganti puasa agar keluar dari perselisihan.
6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tdk sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluar madzi. Rasulullah n
bersabda dlm sebuah hadits shahih yg artinya:
“Dahulu Rasulullah n
mencium dlm keadaan beliau berpuasa dan memeluk dlm keadaan beliau puasa akan tetapi beliau adl orang yg paling mampu menahan syahwat di antara kalian.”
Akan tetapi bagi orang yg khawatir akan keluar mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ krn syahwat yg kuat mk yg terbaik bagi adl menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah n
bersabda:

.. يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي ..

“ meninggalkan syahwat dan makan krn Aku.”

Dan juga beliau n
bersabda:

دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ

“Tinggalkan hal-hal yg meragukan kepada yg tdk meragukan.”

7. Bagi laki2 yg sedang berpuasa diperbolehkan utk keluar rumah dgn memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisal mk tdk boleh utk menghirup atau menghisapnya. Juga diperbolehkan bagi utk menggosok gigi dgn pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tdk ada yg tertelan ke dlm tenggorokan sebagaimana diperbolehkan bagi diri utk berkumur dan memasukkan air ke hidung dgn tdk terlalu kuat agar tdk ada air yg tertelan atau terhisap. Namun seandai ada yg tertelan atau terhisap dgn tdk sengaja mk tdk membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dlm hadits:
“Bersungguh-sungguhlah dlm istinsyaq kecuali jika engkau sedang berpuasa .”
8. Diperbolehkan bagi orang yg berpuasa utk menyiram kepala dan badan dgn air utk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula utk berenang di air dgn selalu menjaga agar tdk ada air yg tertelan ke tenggorokan.
9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa dgn menjaga jangan sampai ada yg masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas c
dalam sebuah atsar:

لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ

“Tidak apa-apa bagi seseorang utk mencicipi cuka dan lain yg dia akan membelinya.”

Demikian beberapa hal yg bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi tiap muslim adl meyakini bahwa Rasulullah n
tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yg ada dlm syariat Islam ini. mk kita tdk boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tdk dgn perasaan semata. Bahkan harus mengembalikan kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama.

____________________________artikel lainnya :

1. Makan dan minum dengan sengaja.

Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama[1]. Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khomr dan rokok[2]), atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu)[3]. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”[4]

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.”[5]

Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum.[6]

Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya kewajiban mengqodho’ puasanya, tanpa ada kafaroh. Inilah pendapat mayoritas ulama.[7]

2. Muntah dengan sengaja.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.”[8]

3. Haidh dan nifas.

Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.”[9]

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا »

Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.”[10]

Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat."[11] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas wajib mengqodho’ puasanya ketika ia suci.[12]

4. Keluarnya mani dengan sengaja.

Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى

“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku”[13]. Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.[14]

Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal.[15]

Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar mani? Jawabnya, puasanya tidak batal.[16] Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا ، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ

Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya”[17]

5. Berniat membatalkan puasa.

Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Jika telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”[18] Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.”[19] Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya.[20]

6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.

Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa, wajib mengqodho’ dan menunaikan kafaroh. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qodho’ dan tidak ada kafaroh.[21]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ - وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ - قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا - يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ - أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »

“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”[22]

Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan menunaikan kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafaroh.

Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah si pria. Alasannya, dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kafaroh sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kafaroh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kafaroh adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar.[23]

Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.

1. Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
2. Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
3. Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud[24] makanan.[25]

Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari An Nawawi rahimahullah.[26]

_________________________________ artikel lainnya :

8. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
a. Makan dan minum dengan sengaja. Jika dilakukan karena lupa maka tidak batal puasanya.
b. Jima' (bersenggama).
c. Memasukkan makanan ke dalam perut. Termasuk dalam hal ini adalah suntikan yang mengenyangkan dan transfusi darah bagi orang yang berpuasa.
d. Mengeluarkan mani dalam keadaan terjaga karena onani, bersentuhan, ciuman atau sebab lainnya dengan sengaja. Adapun keluar mani karena mimpi tidak membatalkan puasa karena keluarnya tanpa sengaja.
e. Keluarnya darah haid dan nifas. Manakala seorang wanita mendapati darah haid, atau nifas batallah puasanya, baik pada pagi hari atau sore hari sebelum terbenam matahari.
f. Sengaja muntah, dengan mengeluarkan makanan atau minuman dari perut melalui mulut. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
”Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak wajib qadha, sedang barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib qadha." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi). Dalam lafazh lain disebutkan : "Barangsiapa muntah tanpa disengaja, maka ia tidak (wajib) mengganti puasanya)." DiriwayatRan oleh Al-Harbi dalamGharibul Hadits (5/55/1) dari Abu Hurairah secara maudu' dan dishahihRan oleh AI-Albani dalam silsilatul Alhadits Ash-Shahihah No. 923.
g. Murtad dari Islam (semoga Allah melindungi kita darinya). Perbuatan ini menghapuskan segala amal kebaikan. Firman Allah Ta'ala: Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. "(Al-An'aam:88).
Tidak batal puasa orang yang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena tidak tahu, lupa atau dipaksa. Demikian pula jika tenggorokannya kemasukan debu, lalat, atau air tanpa disengaja. Jika wanita nifas telah suci sebelum sempurna empat puluh hari, maka hendaknya ia mandi, shalat dan berpuasa.


www.ajaranislammurni.blogspot.com

No comments:

Post a Comment